Olahraga tinju memiliki popularitas yang besar di mata masyarakat global. Namun, tahukah Anda bahwa bagi suku Nagekeo, tinju memiliki makna yang lebih dari sekadar pertarungan antara pemenang dan yang kalah? Bagi mereka, tinju adalah bagian dari tradisi warisan leluhur orang Boawae yang digunakan untuk memperkuat harmoni dan ikatan keluarga di masyarakat.
Tradisi ini dikenal sebagai Tinju Etu di Kabupaten Nagekeo dan Ngada, Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT). Pertunjukan ini biasanya dilakukan oleh para petarung etu sebagai bagian dari serangkaian upacara adat yang memperingati tahapan dari menanam hingga panen kebun. Acara ini berlangsung setiap tahun antara bulan Juni dan Juli.
Tinju etu juga merupakan elemen penting dalam rangkaian upacara adat, mulai dari proses menanam hingga memanen, yang telah ada selama berabad-abad di antara suku Nagekeo dan Ngada. Bagi mereka, tinju etu juga merupakan bagian dari ritual adat lain yang wajib dilaksanakan di kisa nata, yaitu alun-alun di depan rumah adat (sa'o waja), yang merupakan pusat aktivitas adat dan kebudayaan masyarakat setempat.
Di tengah kisa nata terdapat sebuah tugu kayu bercabang dua yang tertancap di atas batu bersusun (peo), yang melambangkan persatuan dan kebersamaan masyarakat. Sehari sebelum acara etu dilangsungkan, seluruh masyarakat berkumpul di kisa nata untuk merayakan malam itu dengan pertunjukan seni musik dan tari yang disebut dero.
instagram : @ceritadestinasiKedua, setiap pemain hanya boleh menggunakan satu tangan yang dibalut dengan sarung tinju yang terbuat dari sabut kelapa, yang dalam bahasa setempat disebut "Keppo" atau "Wholet". Sarung tinju ini diikatkan pada tangan petarung. Sementara tangan yang lain tidak dilindungi dengan sarung tinju dan hanya boleh digunakan untuk bertahan atau menangkis.
Aturan penting lainnya adalah tidak ada batasan waktu dalam setiap pertandingan. Durasi pertandingan ditentukan oleh kekuatan petarung, seberapa kuat mereka menyerang dan bertahan dari serangan lawan. Seorang pemain akan dinyatakan kalah jika ia terjatuh atau mengeluarkan darah.
Meskipun dapat dikatakan sebagai pertarungan bebas, di arena tinju etu terdapat tiga wasit yang disebut "seka". Para wasit ini dibantu oleh 2 orang yang disebut "sike", yang bertugas mengendalikan petinju dengan memegang ujung bagian belakang sarung yang mereka kenakan.
Ketika pertandingan menjadi kacau, sike akan menarik ujung kain tersebut sehingga petarung menjauh dari lawannya. Peran sike sangat penting dalam mengendalikan situasi karena mereka berada dalam jarak yang dekat dengan para pemain. Oleh karena itu, pertarungan ini terlihat sangat unik dan menarik.
Selain petugas yang telah disebutkan di atas, ada juga petugas (pai etu) yang bertugas mencari petarung yang siap bertanding di pertandingan berikutnya. Selain itu, ada juga seorang mandor adat yang mengawasi penonton agar tidak masuk ke dalam area pertandingan.
Pertarungan ini juga memiliki dua kategori, yaitu anak-anak dan dewasa. Anak-anak disebut "etu coo" atau "mbela loe", sementara untuk dewasa disebut "etu meeze" atau "mbela mese". Kedua kategori ini akan dipertandingkan pada hari yang berbeda. Etu coo diadakan pada hari pertama, sementara etu meeze diadakan pada hari berikutnya.
instagram : @ignaskunda
Baik perwakilan dari Nagekeo maupun Ngada, keduanya mengirimkan perwakilan terbaik mereka untuk bertanding di arena tinju ini. Para penonton dari kedua kubu akan mendukung petarung terbaik mereka dengan nyanyian dan iringan musik.
Motif dari tinju tradisional ini murni merupakan bagian dari adat, sebagai sarana untuk merayakan kehidupan dan mempersatukan masyarakat. Oleh karena itu, setelah setiap pertandingan, meskipun para petinju pasti mengalami lebam atau luka, mereka tidak boleh membawa dendam terhadap lawan. Sebaliknya, mereka saling berpelukan dan melambaikan tangan kepada penonton. Sikap ini melambangkan perdamaian, persaudaraan, dan persatuan.
Selain menyaksikan pertarungan tinju, pengunjung juga akan menikmati pertunjukan seni musik dan tari dari berbagai sanggar seni tradisional yang datang dari berbagai daerah untuk merayakan malam dero. Termasuk di antaranya adalah musik khas daerah Nagekeo yang disebut musik "toda gu", yang menggunakan alat musik dari bambu yang dimainkan secara bersamaan oleh beberapa orang. Jika Anda ingin menyaksikan semua itu, kunjungilah Flores, NTT pada bulan Juni-Juli.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar